Balanced Scorecard atau BSC adalah suatu metode untuk pengukuran dan penilaian kinerja suatu perusahaan dengan mengukur empat perspektif yaitu: perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. suatu konsep untuk mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional suatu perusahaan dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal visi dan strategi.
BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC membantu memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang pada gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka panjangnya.
Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk berfokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan perspektif pelanggan, proses, dan karyawan.
Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mulai mempublikasikan kartu skor berimbang melalui rangkaian artikel-artikel jurnal dan buku The Balanced Scorecard pada tahun 1996.
Sejak diperkenalkannya konsep aslinya, BSC telah menjadi lahan subur untuk pengembangan teori dan penelitian, dan banyak praktisi yang telah menyimpang dari artikel asli Kaplan dan Norton. Kaplan dan Norton sendiri melakukan tinjauan ulang terhadap konsep ini satu dasawarsa kemudian berdasarkan pengalaman penerapan yang mereka lakukan.
Dalam BSC, terdapat empat jenis perspektif untuk mengetahui ukuran kinerja perusahaan, yaitu
1. Financial Perspective (Perspektif Keuangan)
Financial perspective atau perspektif keuangan erat kaitannya dengan pemasukan dan pengeluaran perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan harus mampu mengelola keuangan dengan baik agar keuangannya terus stabil. Misalnya, biaya operasional, biaya produksi, biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, termasuk keuntungan dari aktivitas penjualan.
Baik pemasukan maupun pengeluaran, keduanya harus dicatat secara runtut dan jelas. Agar pihak keuangan dapat mengamati laju pertumbuhan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan.
2. Customer Perspective (Perspektif Pelanggan)
Customer perspective atau perspektif pelanggan berkaitan erat dengan cara perusahaan melayani pelanggan. Dalam hal ini, setiap pelanggan harus diperlakukan secara layak. Dengan begitu, mereka merasa puas atas pelayanan yang diberikan.
Adanya pelayanan yang bagus tentu akan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap perusahaan. Sebaliknya, apabila pelayanannya buruk, konsumen pasti mencari perusahaan lain yang memiliki sistem yang lebih bagus.
3. Internal Process Perspective (Perspektif Proses Bisnis Internal)
Dalam internal process perspective, perusahaan menilai seberapa besar ukuran dan sinergi dari setiap unit kerja. Untuk mengukur poin ini, pemimpin perusahaan harus rutin mengamati bagaimana kondisi internal dalam perusahaan. Apakah semuanya dijalankan sesuai dengan metode yang ditetapkan atau malah melenceng dari peraturan.
Kemampuan dan keahlian yang dimiliki setiap karyawan akan menghasilkan proses bisnis internal yang bagus. Selain bertambahnya jumlah konsumen, omzet dan keuntungan yang didapat perusahaan juga akan bertambah.
4. Learning and Growth Perspective (Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan)
Karyawan menjadi elemen penting yang harus dijaga perusahaan. Tanpa adanya karyawan, proses pertumbuhan dan perkembangan perusahaan akan menghadapi banyak kendala. Karyawan juga berfungsi sebagai pendukung dalam perspektif keuangan dan pelanggan. Karena itu, apa yang direncanakan perusahaan dapat mencapai target yang maksimal.
Selain keberadaan karyawan, perusahaan juga perlu memerhatikan sistem dan prosedur kerja yang seperti apa yang perlu diterapkan dalam internal perusahaan. Ada baiknya jika semua elemen terkontrol dan terkoordinasi dengan baik sehingga timbul keselarasan selama bisnis berlangsung.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara online ke 500 perusahaan oleh Kaplan dan Norton (2003), diperoleh data bahwa 250 perusahaan menyatakan telah memiliki Balanced Scorecard. 50% dari perusahaan-perusahaan tersebut menyatakan belum waktunya untuk bisa melihat dampak dari implementasi Balanced Scorecard.
Dari 50% sisanya atau 125 perusahaan, 19 perusahaan (15%) menyatakan telah memperoleh hasil yang signifikan, 80 perusahaan (64%) menyatakan memperoleh beberapa kemajuan, 26 perusahaan (21%) menyatakan tidak atau hanya memperoleh sedikit kemajuan.
Hanya sedikit saja (15%) yang sukses memperoleh hasil yang signifikan.
Dengan demikian, memiliki Balanced Scorecard bukan berarti secara langsung dapat menghasilkan kesuksesan pencapaian strategi. Balanced Scorecard merupakan alat bantu, yang tidak dapat memberikan manfaat yang optimal jika tidak digunakan dengan baik.
Dalam implementasi Balanced Scorecard, diperlukan komitmen dan kepemimpinan yang kuat dari tim manajemen untuk memobilisasi perubahan. Tim manajemen perlu bersama-sama menerjemahkan visi dan strategi sehingga menghasilkan konsensus bersama.
Kemudian sasaran strategis dan ukuran pencapaiannya perlu dikomunikasikan ke seluruh organisasi agar seluruh unit dan individu dalam organisasi memahami sasaran-sasaran strategis yang harus dicapai untuk keberhasilan strategi organisasi.
Strategi organisasi perlu diselaraskan dengan sasaran-sasaran unit kerja dan individu serta perlu diselaraskan antara sasaran dan inisiatif yang akan diambil. Untuk melaksanakan inisiatif, tentunya diperlukan pengalokasian sumber daya yang dibutuhkan, yang akan berpengaruh terhadap budget.
Untuk itu, penentuan budget perlu dihubungkan dengan strategi dan untuk menguatkan komitmen bersama, pencapaian kinerja perlu dihubungkan dengan reward.
Sumber :
http://industrialengineeringdepartment.blogspot.com/2019/06/balanced-score-card.html
No comments:
Post a Comment